Bab 1:Perjodohan Yang Tak Terduga
1.1 Perencanaan Perjodohan
Rizky adalah anak semata wayang. Ayahnya, Ismail, dan ibunya, Annisa, dikenal sebagai pasangan yang cukup terpandang di lingkungan mereka.
Dalam budaya setempat, orang tua sering dipanggil dengan nama anak pertama mereka, sehingga mereka akrab disebut sebagai Pak Rizky dan Ibu Rizky di lingkungan sekitar.
Namun, untuk memudahkan pembaca, nama asli mereka—Ismail dan Annisa—akan tetap digunakan dalam cerita ini."
Pagi itu, di rumah sederhana mereka, aroma kopi hitam buatan Ibu Annisa memenuhi ruangan. Pak Ismail duduk di kursi kayu dekat jendela, sesekali menyeruput kopinya sambil membaca koran. Di meja, hidangan sarapan masih tersisa, tetapi pikirannya tampak melayang jauh.
"Bu, Bapak mau ke rumah kawan dulu, ya?" katanya santai sambil melipat koran di pangkuan.
Ibu Annisa yang sedang merapikan piring di dapur, menoleh dengan alis terangkat."Kawan?
Kawan yang mana, Pak?" tanyanya curiga.
Pak Ismail tersenyum kecil. "Itu, Bapaknya Nabila, sahabat Bapak dulu waktu muda."
Tangan Ibu Annisa berhenti mengelap piring. Matanya menyipit tajam. "Hmm… kok Ibu rasanya agak curiga, ya?" ujarnya penuh selidik."Jangan berbohong sama Ibu, ya," perasaan seorang istri itu jarang salah, tahu!
Pak Ismail tertawa kecil, tetapi tatapannya sedikit menghindari istrinya. "Ibu kok tahu aja isi hati Bapak?"
Ibu Annisa meletakkan piring dengan suara sedikit berisik. Ia menyilangkan tangan di dada. "Ya iyalah, kita kan sudah lama bersama. Ibu sudah paham betul sifat-sifat Bapak."
Pak Ismail menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Iya, Bapak rencananya ingin menjodohkan Rizky sama Nabila,"katanya pelan.
Mata Ibu Annisa membesar. "Ck, ck, ck… Begitulah kebiasaan Bapak ini. Mau pergi-pergi aja tanpa bicara dulu sama Ibu." Ia menatap suaminya tajam. "Kan Rizky itu bukan cuma anak Bapak, tapi juga anaknya Ibu!"
Pak Ismail terdiam sejenak, lalu tersenyum canggung. "Iya, maaf, Bu. Bapak terlalu semangat sampai lupa cerita ke Ibu dulu."
Ibu Annisa menghela napas panjang, kemudian memalingkan wajah dengan ekspresi kesal. "Pagi-pagi sudah buat Ibu kesal saja, Bapak ini!"
Melihat istrinya merengut, Pak Ismail dengan sigap mendekat dan memeluknya dari samping. "Maaf, ya, Bu," bisiknya lembut. "Bukan maksud Bapak tidak menghargai Ibu, tapi Bapak benar-benar lupa."
Ibu Annisa mendesah pelan. "Huh, Bapak ini memang, ya…"
Pak Ismail tersenyum nakal. "Kan katanya Ibu paham betul sama sifat Bapak. Tapi kok masih marah-marah juga? Berarti Ibu belum sepenuhnya paham, dong?"
Ibu Annisa yang tadinya kesal justru tersipu malu. "Ih, apaan sih, Pak!"
Pak Ismail semakin menggoda. "Hmm… tapi diam-diam, Ibu senang kan?"
Ibu Annisa melempar tatapan malu-malu, lalu pura-pura sibuk membereskan meja. sudah,sudah, sana pergi. "Nanti kemalaman lagi."
Pak Ismail terkekeh, lalu mengambil kunci motor yang tergantung di dekat pintu. "Iya, deh. Bapak pergi dulu, ya."
Saat suaminya hendak melangkah keluar, Ibu Annisa mencium tangannya dengan lembut.
“Hati-hati di jalan, Pak,” ujarnya pelan.
Pak Ismail tersenyum. “Iya, Bu. Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum pergi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu Annisa lembut, mengiringi kepergian suaminya dengan tatapan hangat.
Komentar
Posting Komentar