Watak Suatu Bangsa 1

 Membongkar Teori Migrasi: Antara Dogma, Watak Bangsa, dan Jejak Peradaban Nusantara



Saya bukan sejarawan. Saya juga bukan akademisi yang hidup dari jurnal-jurnal ilmiah. Tapi saya adalah orang yang terusik nalar dan akal sehatnya saat melihat teori migrasi yang terus diulang seperti dogma: bahwa bangsa ini berasal dari Taiwan, bahwa India berperan besar membentuk peradaban, dan bahwa kita semua berasal dari arus luar yang lebih "tinggi" budayanya.


Saya tidak menolak migrasi. Tapi saya menolak jika migrasi dijadikan satu-satunya kunci memahami jati diri bangsa. Kita bukan sekadar hasil hanyutan arus. Kita adalah bangsa yang membentuk dirinya sendiri—dengan watak, dengan kesadaran, dan dengan perlawanan.


Bukti-bukti dan Jejak Budaya yang Sengaja Diabaikan


Pengaruh India sering dijadikan acuan dalam memahami akar budaya Nusantara. Tapi kita tahu, yang tersisa dari India di banyak wilayah hanyalah kuliner. Budaya dan agama mereka tidak berakar kuat. Bahkan di Aceh, satu-satunya orang India yang tersisa usai tsunami hanyalah segelintir, dan yang anehnya bukan Hindu yang bertahan, tapi Sikh.


Bandingkan dengan pengaruh Persia. Kita bisa lihat jejaknya dalam sufisme, kesenian, puisi, arsitektur, hingga semangat perlawanan. Tapi narasi ini jarang diangkat karena tidak sesuai dengan konstruksi teori yang sudah telanjur dipercaya oleh barat—dan diulang oleh akademisi kita sendiri.


Watak Bangsa, Pilar yang Terlupakan


Saya percaya, watak adalah fondasi peradaban. Watak tidak lahir dari teori, tapi dari sejarah panjang tekanan dan ujian. Belanda paham ini. Itu sebabnya mereka lebih memilih rekrut tentara dari suku tertentu—bukan karena jumlah, tapi karena watak yang bisa diatur.


Sumatera, khususnya Aceh, selalu digambarkan keras, memberontak, dan tidak tunduk. Tapi justru itu bukti watak yang jelas: lebih baik mati dari pada diperbudak. Sementara wilayah lain yang memiliki watak “nggak enakan” dan “sungkan” malah dimanfaatkan untuk memperkuat kolonialisme, dan ironisnya, melanggengkan kekuasaan pusat hingga hari ini.


Jangan Terkecoh oleh Narasi Tunggal


Sukarno, Megawati, hingga Jokowi adalah contoh nyata bagaimana watak dan kekuasaan berkelindan. Di sebagian besar wilayah, mereka dianggap pahlawan. Tapi di wilayah lain, sejarah mencatat luka dan pengkhianatan. Ini bukan soal individu, tapi soal watak kolektif—bagaimana satu bangsa menilai kekuasaan bukan dari kebenaran, tapi dari kenyamanan dan simbolisme.


Penutup


Opini ini bukan ajakan untuk membenci. Ini justru seruan untuk membuka mata. Sejarah tidak cukup dibaca dari prasasti, artefak, atau genetik. Sejarah harus dibaca dari watak. Karena dari sanalah lahir keputusan, perlawanan, dan bahkan pengkhianatan.


Saya siap salah. Tapi saya juga siap menguji ulang semua kebenaran yang selama ini diajarkan sebagai dogma.



---


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ranup lampuan klip

Ranup lampuan klip

Leluhur Indonesia dari Taiwan? Atau Taiwan dari Indonesia?