Watak Suatu Bangsa 9-10
#9 Watak, Sistem, dan Keadilan Budaya
Watak tidak hanya berlaku pada individu atau suku, tapi juga pada tata kelola wilayah dan keputusan politik. Sejarah Indonesia mencatat ini sangat jelas — watak suatu daerah akan terus mencari ruang hidupnya sendiri, entah dengan damai atau dengan jalan perlawanan.
Contoh paling jelas bisa kita lihat di Bali. Masyarakat Bali memiliki watak kuat dalam hal kesetiaan kepada leluhur. Sistem adat mereka, Banjar, tetap berjalan rapi dan teratur, bahkan tanpa harus ada label “istimewa” dari negara. Mereka dibiarkan hidup sesuai dengan wataknya, dan hasilnya: damai.
Bandingkan dengan Aceh. Wataknya keras, jujur, dan tidak mudah tunduk. Ketika Aceh ingin menegakkan syariat dan hidup sesuai identitasnya, negara tidak langsung memberi ruang. Butuh perlawanan, perang panjang, hingga bahkan bencana alam besar — baru akhirnya negara mengizinkan Aceh menata dirinya sendiri. Ironisnya, banyak yang melupakan, bahwa itu semua berakar dari satu kesalahan: pengingkaran janji oleh Sukarno sendiri, yang pada akhirnya menelan ribuan nyawa.
Kita juga bisa melihat di Kalimantan dan Papua. Suku Dayak hidup berdampingan dengan hutan, wataknya sangat terikat dengan alam. Namun ketika hutan dirampas, watak mereka perlahan terkikis, bukan karena berubah, melainkan karena dipaksa bertahan dalam sistem yang bukan milik mereka. Hal serupa terjadi di Papua: watak asli mereka tidak pernah cocok dengan sistem kolonial modern, tapi dipaksakan untuk tunduk di dalamnya.
Dan lebih menarik lagi, lihat Jogja. Dengan status Daerah Istimewa, masyarakatnya bisa menjalani hidup dalam pola watak, adat, dan struktur budaya yang tetap terjaga. Pertanyaannya: kenapa Bali tidak perlu status istimewa, tapi bisa bertahan?
Kenapa Aceh harus berdarah-darah dulu baru diakui? Kenapa Papua dan Kalimantan tidak diberi ruang serupa?
Jawaban paling jujur adalah: karena watak pemimpin Indonesia selalu berulang. Dari dulu hingga sekarang, pusat kekuasaan selalu membentuk pola yang sama: mengontrol dengan sistem yang seragam, meskipun bangsa ini lahir dari keanekaragaman watak.
---
#10 Meninjau Ulang 'Asal-Usul' dari Sudut Watak
Jika kita meninjau ulang teori asal-usul leluhur bangsa Indonesia, dari sudut pandang watak, maka pertanyaan paling sederhana akan muncul:
apakah benar migrasi manusia itu hanya ditentukan oleh jarak dan teknologi?
Atau lebih tepatnya: apakah teori migrasi bisa berdiri tanpa memahami watak dari kelompok yang bermigrasi itu sendiri?
Watak adalah kunci. Karena setiap peradaban yang maju, bertahan, atau hancur, selalu berkaitan erat dengan watak manusianya.
Bahkan peradaban yang besar sekalipun, bisa runtuh dan tak bangkit lagi karena perubahan watak yang tidak selaras dengan lingkungan, atau malah karena wataknya dari awal bukan watak ekspansi.
Lihat India — banyak catatan mengisyaratkan bahwa peradaban tinggi di sana mungkin bukan asli watak penduduknya, melainkan hasil “jejak kaki” peradaban pendatang yang datang, lalu pergi atau punah, meninggalkan sisa sistem yang tak lagi cocok dengan watak asli yang menghuni tanah itu.
Begitu juga dengan bangsa Mongol: watak mereka memang penakluk, hidup di padang stepa yang keras, terbentuk oleh pertarungan dengan alam, dan menghasilkan peradaban berbasis agresi dan ekspansi. Maka wajar, bangsa ini meninggalkan jejak kekuasaan yang luas, tapi tidak membangun peradaban panjang, karena fokusnya bukan pada sistem, melainkan dominasi fisik.
Sekarang bandingkan dengan Jawa. Wataknya cenderung adaptif dan harmonis, lebih mengutamakan keselarasan sosial daripada agresi. Jika benar Majapahit melakukan ekspansi besar-besaran seperti yang diklaim sejarah, seharusnya karakter ini masih membekas kuat di dalam DNA sosialnya, dan setidaknya seharusnya lebih banyak muncul karakter kolonial di masa-masa berikutnya. Faktanya, watak ini tidak muncul lagi dalam bentuk kolonialisme nyata di era modern.
Bahkan di Suriname, keturunan Jawa tidak menjadi kekuatan agresif, justru lebih banyak hidup dalam watak sosial yang damai, tertutup, dan mempertahankan adatnya — ciri asli yang konsisten dengan akar budayanya.
Artinya, teori migrasi yang kita terima selama ini terlalu fokus pada pola jalur dan bukti fisik, tetapi menafikan faktor watak sebagai fondasi yang penting dalam menjelaskan kenapa suatu suku berpindah, bertahan, atau membentuk peradaban baru.
Watak bukan hanya produk lingkungan, tapi juga warisan turun-temurun yang sulit berubah meskipun zaman telah berganti.
Itulah mengapa pertanyaan besar ini penting:
> Apakah kita hanya berpindah secara fisik, atau watak leluhur kita-lah yang menentukan arah perjalanan bangsa ini?
---
Komentar
Posting Komentar