Watak Suatu Bangsa 6-8
#6 Watak Bangsa Nusantara: Membangun Peradaban Tanpa Nafsu Menjajah
Jika kita menelaah sejarah dengan jujur, bangsa Nusantara memiliki watak yang sangat khas: membangun peradaban, tanpa hasrat untuk menjajah bangsa lain. Watak ini sangat berbeda dibanding bangsa-bangsa besar lainnya.
Eropa menjajah dengan agresi militer dan klaim penemuan. Persia menyebar pengaruh lewat jaringan budaya dan agama. Cina lebih suka ekspansi ekonomi dan strategi jangka panjang. Tapi bangsa Nusantara, khususnya dari Sumatera hingga kepulauan timur, punya satu ciri penting: beradab tanpa menjadi penjajah.
Lihat Majapahit. Banyak narasi menyebut Majapahit melakukan ekspansi. Tapi jika ditelaah lebih dalam, ekspansi itu lebih tepat disebut sebagai kesepakatan dagang dan aliansi antar kerajaan, bukan penaklukan brutal seperti yang dilakukan Mongol atau bangsa Eropa. Jika watak orang Jawa adalah penakluk seperti bangsa agresor lainnya, maka seharusnya keturunan mereka di Suriname bisa tumbuh sebagai kelompok militan dan ekspansif. Tapi faktanya? Tidak. Mereka tetap membawa budaya sopan santun, kolektif, dan tidak suka kekerasan terbuka—watak yang khas sejak dulu.
Jadi pertanyaannya: benarkah Majapahit melakukan penaklukan seperti yang diklaim, atau itu hanya narasi politis belaka? Atau mungkinkah Majapahit membangun pengaruh lewat diplomasi, pernikahan kerajaan, serta ekonomi maritim—yang sejalan dengan watak asli masyarakat Jawa yang cenderung sungkan, lembut, dan kolektif?
Inilah pentingnya memahami watak dalam menilai peradaban. Karena watak bukan teori, tapi cerminan dari nilai yang konsisten muncul, bahkan ketika seseorang atau suatu bangsa berada di bawah tekanan.
---
#7 Bahasa dan Sistem Berpikir: Cerminan Watak Bangsa
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah refleksi dari cara berpikir suatu bangsa. Dalam bahasa, tersimpan nilai, watak, dan bahkan logika peradaban itu sendiri. Itulah kenapa ketika suatu bangsa kehilangan bahasanya, dia tidak hanya kehilangan alat bicara—tapi kehilangan cara berpikir khas yang diwariskan leluhurnya.
Lihat bagaimana bangsa Eropa menjajah: mereka selalu menyebarkan bahasanya terlebih dahulu. Karena mereka tahu, ketika bahasa mereka mengakar, maka logika berpikir dan budaya mereka ikut menguasai. Itu bukan kebetulan, tapi bagian dari strategi penaklukan.
Sekarang kita lihat bahasa-bahasa di Nusantara. Dari Aceh, Minang, Batak, hingga Bugis dan Papua—semuanya memiliki struktur logika dan filosofi yang dalam. Tapi apa yang terjadi ketika teori migrasi asal-usul bangsa Indonesia hanya melihat faktor bahasa Austronesia? Semua suku yang tidak sesuai dengan kerangka bahasa Austronesia dianggap penyimpangan. Padahal justru dari keunikan bahasa itulah kita bisa menelusuri watak asli leluhur Nusantara yang sangat beragam dan tidak bisa dipaksakan dalam satu teori linier.
Contoh: dalam bahasa Aceh dan Minang, ada konsep kehormatan yang sangat tinggi. Dalam bahasa Jawa, ada lapisan tutur kata yang mencerminkan struktur sosial. Bahasa Batak sangat langsung dan fungsional. Semua ini bukan sekadar bentuk bahasa—tapi cerminan watak dan cara berpikir suku-suku bangsa ini.
Jadi jika ingin mengkaji asal-usul bangsa Indonesia, kita tidak bisa hanya melihat bentuk kata atau rumpun bahasa. Kita harus melihat logika dan nilai-nilai di balik bahasa itu. Karena di sanalah letak warisan sejati leluhur kita: bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi dalam cara berpikir dan memaknai hidup.
---
#8 Pola Warisan Leluhur yang Terfragmentasi
Ketika kita bicara tentang warisan leluhur, banyak orang hanya membayangkan artefak, silsilah, atau lokasi geografis. Padahal, warisan sejati yang paling menentukan arah peradaban adalah nilai-nilai, watak, dan pola pikir yang diwariskan.
Sayangnya, bangsa Indonesia mewarisi potensi besar, tapi dalam bentuk fragmen-fragmen terpisah, yang tidak sempat dirajut utuh menjadi peradaban yang stabil. Ini akibat dari beberapa hal: invasi, kolonialisasi, dan juga teori sejarah yang memaksakan kerangka tunggal, seperti teori migrasi Taiwan atau model Austronesia.
Apa yang kita lihat hari ini di berbagai daerah bukanlah bentuk asli dari watak leluhur, tapi sisa-sisa pola yang terfragmentasi, yang kadang dipertentangkan satu sama lain. Bahkan, watak-watak unggul yang dulunya menjadi kekuatan lokal kini menjadi stigma. Contohnya:
Watak keras kepala suku tertentu dianggap “sulit diatur”, padahal itu mungkin bentuk keteguhan terhadap prinsip.
Watak pendiam dan sungkan dianggap sebagai sikap lemah, padahal itu bentuk etika sosial tinggi dalam budaya tertentu.
Watak suka berdiskusi panjang dianggap “bertele-tele”, padahal itu cara berpikir naratif khas peradaban lisan.
Lalu, muncul dominasi satu narasi sejarah, satu bahasa, satu pusat kebudayaan, dan teori migrasi yang mengabaikan kompleksitas ini. Maka tidak heran jika identitas bangsa ini terlihat seperti tambal sulam, bukan kain tenun utuh. Warisan leluhur kita tercerai berai karena disusun dalam peta politik dan akademik yang tidak menggali watak dan kearifan lokal masing-masing.
Jika kita ingin membangun kembali fondasi peradaban Indonesia, maka kita harus memulainya dengan mengenali ulang fragmen-fragmen itu, lalu menyusunnya kembali menjadi mosaik yang utuh. Bukan dengan menelan teori migrasi yang memukul rata watak bangsa, tapi dengan mendengarkan suara batin tiap-tiap suku, yang selama ini hanya dianggap “data statistik”.
---
Komentar
Posting Komentar