Asal-usul Leluhur Bagian 2
Kedatangan Bangsa Mesir dan Lahirnya Konsep Melayu: Sebuah Rekonstruksi Sejarah Awal Sumatera
Pelayaran Awal dan Pemahaman Waktu
Pelayaran jarak jauh oleh bangsa Mesir tercatat dalam sejarah resmi sejak sekitar 2700 SM pada era Raja Snefru dari Dinasti ke-4. Namun fakta bahwa pencatatan pelayaran baru terjadi pada masa itu, mengindikasikan bahwa praktik pelayaran itu sendiri sudah berlangsung jauh sebelum ada pencatatan formal.
Awalnya, bangsa Mesir kemungkinan hanya melakukan pelayaran terbatas di sepanjang Sungai Nil dan pesisir Laut Merah, kemudian meluas ke lautan terbuka.
Sebelum adanya budaya pencatatan tertulis, segala aktivitas pelayaran bisa saja sudah terjadi dalam bentuk praktek lisan, sehingga realita pelayaran lebih tua daripada bukti tertulisnya.
Penggunaan Kapur Barus dan Era Akhenaten
Penggunaan kapur barus dalam ritual keagamaan dan mumifikasi tercatat mulai intensif pada era Firaun Akhenaten (1351–1334 SM).
Kapur barus digunakan untuk pengawetan mayat (mumi), yang membutuhkan bahan alami berkualitas tinggi, dan Sumatera dikenal sebagai sumber kapur barus terbaik.
Logikanya sederhana:
Bagaimana mungkin bangsa Mesir mengandalkan kapur barus dalam ritual suci mereka kalau mereka belum mengenal bahan ini sebelumnya?
Berarti, sebelum atau paling lambat di era Akhenaten, bangsa Mesir sudah mengenal kapur barus dan mulai mencari sumber alaminya — termasuk melakukan pelayaran jarak jauh menuju Nusantara.
Mengapa Era Akhenaten Sangat Penting?
1. Monoteisme Kuat:
Akhenaten adalah satu-satunya firaun yang mendobrak sistem politeisme Mesir dan memperkenalkan penyembahan satu Tuhan, yaitu Aten (representasi tunggal Tuhan lewat gambaran Matahari).
Ini mendekati konsep tauhid dan sangat berbeda dari budaya bangsa Ham yang animistik.
2. Salah Tafsir:
Akhenaten sering disalahpahami sebagai penyembah Matahari itu sendiri, padahal sejatinya Aten adalah simbol dari Tuhan yang Maha Esa, bukan sekadar dewa Matahari.
Salah tafsir inilah yang mungkin merembet ke kebudayaan lain — contoh seperti di Jepang, kepercayaan pada Amaterasu (Dewi Matahari dalam Shinto) atau di Persia muncul konsep dewa matahari seperti Mitra.
Dampak di Sumatera: Lahirnya Konsep Melayu
Ketika bangsa Mesir tiba di Sumatera, terjadi proses asimilasi dengan sisa-sisa bangsa Ham yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah tersebut, terutama di dataran tinggi yang mampu bertahan dari bencana besar seperti Letusan Toba.
Sebelum kedatangan Mesir, bangsa Ham di Sumatera masih kuat memegang kepercayaan animisme — roh nenek moyang, roh hutan, roh sungai, dsb.
Namun setelah asimilasi dengan bangsa Mesir pembawa monoteisme, terjadi perubahan:
Praktik animisme mulai menghilang secara perlahan dari Sumatera.
Muncul sistem sosial dan budaya yang lebih terstruktur.
Terbentuk identitas baru: bangsa Melayu.
Hal ini menjelaskan kenapa di Sumatera, sulit ditemukan jejak animisme murni seperti yang banyak terjadi di Papua atau di wilayah pedalaman Kalimantan.
Kesaksian Tetua Lokal: Bukti Lisan
Menariknya, di beberapa komunitas tua di Sumatera, masih terdengar ucapan tetua bahwa "kami keturunan Nuh".
Dulu, ini mungkin terdengar seperti mitos atau ocehan kosong, namun dalam kerangka ini, sebenarnya itu sangat logis:
Mereka adalah keturunan bangsa Ham, anak dari Nabi Nuh, yang tersisa dan membentuk akar dari bangsa Melayu awal di Sumatera.
Rentang Waktu
Berdasarkan analisis ini, kedatangan bangsa Mesir ke Sumatera bisa diperkirakan terjadi antara 1500–1200 SM, atau lebih tepatnya bertepatan dengan masa kekuasaan Akhenaten (sekitar 1300-an SM).
---
Komentar
Posting Komentar